The American Psychological Association (APA) menyatakan bahwa orientasi seksual adalah suatu pola ketertarikan yang berdasarkan baik secara seksual maupun romantikal (APA 2010). APA juga menjelaskan bahwa orientasi seksual bukan hanya tentang identitas suatu individu namun juga aspek perilaku yang dijumpai pada masyarakat yang dapat dikategorikan sebagai salah satu Hak Asasi Manusia. Definisi tersebut mengacu pada berbagai macam seksualitas seperti homoseksualitas laki-laki atau perempuan, heteroseksualitas, dan biseksualitas yang mencakup beberapa kategori orientasi lainnya. Heteroseksualitas itu sendiri merupakan sebuah norma yang dinormalkan oleh masyarakat sehingga istilah homoseksualitas dipersepsikan secara berbeda oleh masyarakat dan merupakan bentuk dari penyimpangan sosial. Dengan alasan tersebut, definisi dari seksualitas itu sendiri dapat berubah-ubah tergantung dalam berbagai konteks.
Dalam konteks Korea Selatan, istilah gay atau bahkan menjadi gay merupakan hal yang sangat tabu sehingga para remaja mengalami paksaan dari masyarakat untuk menyembunyikan identitasnya. Sekitar kurang dari 40% usia remaja tidak mendapatkan pengetahuan mengenai gender, orientasi seksual, dan identitas di bangku persekolahan sehingga ketidakpercayaan diri bertambah dan mempengaruhi kesehatan fisik ataupun mental (Naaranoja, 2016). Kurangnya pengetahuan akan seksualitas membuat para peneliti, akademisi, dan warga Korea Selatan ingin mengetahui lebih lanjut tentang spektrum seksualitas.
Disamping bagaimana pandangan masyarakat Korea Selatan terhadap, perlu diketahui juga bahwa setiap generasi memiliki cara pandang melihat suatu isu secara berbeda-beda. Nilai dan norma menjadi basis utama bagaimana masyarakat menginternalisasi dan mengimplementasi nilai-nilai yang tumbuh di masyarakat serta menghasilkan sikap yang berbeda-beda. Maka dari itu, memahami permasalahan cara masyarakat Korea Selatan melihat homoseksualitas menjadi penting untuk merumuskan apa yang harus dilakukan masyarakat Korea Selatan untuk memperjuangkan seksualitas yang juga merupakan Hak Asasi Manusia.
Homoseksualitas di Zaman Korea Kuno
Di Korea Selatan, pembentukan suatu identitas seorang homoseksual memainkan peranan yang sangat penting bagi mereka dalam berkomunikasi atau bersikap dengan orang lain (Kim, Shin Young 2010, 8-9.). Kim Shin Young memaparkan bahwa identitas yang dibentuk masyarakat Korea Selatan terhadap homoseksualitas masih diasosiasikan dengan penyimpangan mental, HIV/AIDS, dan lainnya sehingga muncul stereotip kepada homoseksual di Korea Selatan (Kim, Shin Young 2010). Akibatnya, stereotip yang muncul sangat merendahkan kaum homoseksual.
Stereotip yang merugikan ini muncul tidak melihat kembali kepada sejarah Korea Selatan sendiri. Dalam perjalanan sejarahnya, Korea memiliki beberapa sejarah percintaan sesama jenis di dalam dunia politik mereka. Sejarah mencatat raja homoseksual pertama yang ada di Korea yaitu Raja Hyegong (혜공왕) (765-780 CE), dari Dinasti Silla (Lee, Jooran 2000 qtd. in Hilton 2008, 3). Ia digambarkan seorang raja yang lahir dengan semangat feminisme dan lebih suka apabila didekati oleh pria yang ada disekitarnya (Lee, Jooran 2000 qtd. in Hilton 2008, 3). Sama seperti masa Dinasti Goryeo, praktik hubungan sesama jenis juga sangat populer di kalangan Aristokrasi Korea. Praktik tersebut dikenal dengan istilah yongyang jichong (용양지총). Terminologi tersebut digunakan mnegacu pada arti “the dragon and the sun”, yang mana keduanya merupakan simbol lelaki maskulin (Kim & Hahn 2006, 62). Hubungan yang terkenal dalam Dinasti Goryeo yaitu hubungan sesama jenis Raja Mokjong (목종) (r. 997-1009 CE). Selain itu ada Raja Chungseon (충 선왕) (1298, 1308-313 CE) yang dikenal memiliki hubungan jangka panjang dengan seorang lelaki bernama Wonchung (Sohng & Icard 1996 qtd. in Hilton 2008, 4).
Sejalannya masa masa kepemimpinan Dinasti yang tidak menganut heteroseksualitas, berkembangnya ajaran konfusianisme di wilayah Korea Selatan pun mulai gencar sehingga respons masyarakat yang menganut paham tersebut melarang adanya kegiatan hubungan sesama jenis karena melanggar norma sosial dan kode etik norma sosial yang ada di Korea Selatan. Masyarakat juga membentuk suatu norma moral yang dibentuk oleh Konfusianisme Korea sehingga mempertahankan tradisi yang ada tanpa terkecuali. Karenanya homoseksualitas dianggap merusak moral yang dibangun oleh konfusianisme karena dianggap sebagai bentuk penolakan hakikat gender normatif.
Lingkungan Homoseksualitas di Korea Selatan Kontemporer
Melihat adanya rekaman sejarah yang cukup banyak mencatat hubungan sesama jenis pada masa Korea Kuno. Identitas homoseksual di Korea Selatan saat ini merupakan bentuk asimilasi kultur tradisional dan modernisasi sehingga keberadaan homoseksualitas di Korea Selatan tidak pernah diilegalkan (Hilton 2008, 5-6.). Karena hal tersebut, posisi homoseksualitas di Korea tidak mendapatkan banyak tempat di publik dan hanya mendapat dua pilihan baik itu dilindungi ataupun dilarang. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya undang-undang legal yang khusus mengatur hal tersebut. Sulitnya advokasi dalam memastikan agar tidak terjadinya diskriminasi yaitu adanya faktor diluar kemampuan perusahaan untuk memastikan adanya anti-gay discrimination karena sikap masyarakat yang telah menginternalisasi nilai dan norma heteroseksual. Sehingga belum ada jaminan untuk bekerja secara aman di lingkungan pekerjaan yang ada (Lee Min-A 2007B). Menilik kembali, Pemerintah Korea Selatan pernah mencanangkan peraturan perundang-undangan mengenai kesetaraan hak asasi manusia yang dikaitkan dengan LGBT namun peraturan tersebut gagal pada tahun 2007. Setelah bertahun-tahun kembali dicanangkan dan tetap gagal hingga berakhir pada tahun 2013 (Asan Report 2015, 1-3.). Kegagalan pengajuan perundang-undangan tersebut sering terjadi sehingga para anggota kelompok minoritas sering mengalami diskriminasi di ruang publik.
Terminologi yang diskriminatif pun muncul dikalangan masyarakat Korea Selatan yaitu istilah byeontae (변태, abnormal, anomaly, deviant), sebuah istilah yang mengacu pada identitas dan perilaku diluar konsepsi heteroseksualitas tradisional. Kata tersebut juga digunakan para heteroseksual untuk mendeskripsikan homoseksual secara individu, dengan kata lain perundungan terhadap kaum homoseksual. Selain itu, istilah dongseong-ae (동성애) menjadi terminologi yang sering digunakan oleh aktivis sebagai aktivitas hubungan sesama jenis. Istilah gay (게이, gei) dan queer (퀴어, kwieo) pula menjadi populer digunakan pada acara festival dan sinematografi. Eksistensi homoseksualitas di Korea Selatan pun semakin berkembang dengan adanya adopsi
filmografi dan sinematografi serta adanya The Queer Festival sebagai bentuk penerimaan masyarakat korea terhadap isu homoseksualitas di negaranya (Hilton 2008, 12.).
“Christians’ arranged marriage to rage: The Korean Queer Culture Festival (기독교인들의 분노에 맞선 ‘한국퀴어문화축제’, gidokkyodeureui bunnoe masseon ‘hangug kwieo munhwa chukjae’)
merupakan sebuah festival modern kemanusiaan dengan tema Hak LGBT yang dibalut dengan parade dan penayangan film pada Mei 2015. Menjelang terjadinya acara tersebut, komunitas LGBT di Korea Selatan mengalami penahanan dari polisi Korea. Hal tersebut sangat ditakutkan oleh para politisi karena dianggap mengganggu tatanan politik Korea Selatan sehingga polisi Korea dimandatkan untuk turun ke lapangan membatasi aktivitas komunitas LGBT yang ada. Terlebih, politisi Korea Selatan tersebut didukung oleh kelompok konservatisme Kristiani sehingga politisi banyak mengatakan bahwa mereka tidak memerlukan suara kelompok minoritas (Korea Herald 2015B; BeyondHallyu.). Masih dengan tujuan yang sama, Kelompok konservatisme Kristiani tetap menolak adanya acara tersebut dengan cara melakukan orasi terselubung di area acara. Walaupun kelompok minoritas LGBT mendapatkan tempat yang lumayan kasat mata di tatanan masyarakat. Namun, masih banyak terdapat kelompok konservatisme yang sangat menentang hal tersebut dan diasosiasikan dengan banyak faktor seperti agama, nilai, dan norma.
Setelah melihat bagaimana sikap masyarakat Korea Kuno dan Korea Kontemporer dalam menghadapi fenomena homoseksualitas di Korea Selatan, Bab ini akan membahas bagaimana bentuk realisasi nyata dari masyarakat terkait fenomena tersebut. Banyak sekali masyarakat yang mulai terbuka dan membuat acara kemanusiaan. Selain itu, bab ini akan membahas kasus LGBT yang menjadi sorotan diskursus media. Munculnya eksklusi di mata hukum dan peradilan menarik perhatian bersama karena di Korea Selatan heteroseksualitas adalah suatu sistem ideologi politik yang menstigma dan menolak keberadaan bentuk non-heteroseksual baik dalam hubungan, sikap, identitas, atau komunitas (Kim, Shin Young 2010, 19-20).
Kesimpulan
Melihat bahwa Korea Selatan merupakan sebuah negara yang sangat mengedepankan kebebasan kemanusiaan dalam bidang apapun, isu homoseksualitas dan LGBT masih menuai polemik yang ada di masyarakatnya sendiri. Melihat perspektif sejarah yang tertulis, Konfusianisme Korea yang erat kaitannya dengan struktur keluarga membuat homoseksualitas tidak diperbolehkan di berbagai
macam dinasti di Semenanjung Korea. Selain itu, individu bagian dari kelompok tersebut sering mengalami diskriminasi di setiap generasinya walaupun angka diskriminasi di era kontemporer semakin berkurang dan semakin terbuka serta menerima keberadaan homoseksualitas. Di era kontemporer, banyaknya julukan yang muncul secara bertahap membuat individu tersebut takut akan menerima dirinya sendiri bagian dari komunitas. Untuk menyimpulkan itu semua, terdapat sikap yang bergeser dari masyarakat konservatif hingga mulai terbuka di ruang publik. Banyaknya gerakan yang menjadi terobosan baru seperti Pride Parade in Seoul & the Queer Culture Festival juga menjadi suatu wadah yang tepat untuk mengadvokasikan hak-hak yang perlu diperjuangkan di mata pemerintah.